Selasa, 03 April 2012

Hallyu di Negara Asia

http://suray.blogspot.com


HALLYU: TREND MEREBAKNYA BUDAYA POP KOREA: STUDI KASUS TENTANG SINETRON DAN FILM KOREA DI INDONESIA
BAB 1
Pendahuluan

1.1. Latar Belakang
Piala Dunia Korea-Jepang 2002 yang berakhir dengan masuknya Korea sebagai kekuatan empat besar dunia dalam hal persepakbolaan semakin mempersohor Korea di mata dunia. Contohnya adalah beberapa waktu menjelang, selama, dan setelah hiruk pikuk Piala Dunia, beberapa stasiun televisi swasta di tanah air gencar bersaing menayangkan film-film maupun sinetron-sinetron Korea. Bahkan terdapat beberapa sinetron Korea yang ‘sukses’ di layar kaca, sebut saja Winter Sonata dan Endless Love. Dua sinetron buatan negeri ginseng ini telah berhasil menarik perhatian sebagian masyarakat Indonesia, bahkan beberapa bintang sinetron tersebut telah menjadi idola sebagian masyarakat di tanah air.
Situasi di atas adalah sebagian kecil dari apa yang disebut Hallyu—istilah buatan yang bermakna pengaruh budaya modern Korea—yang mulai merebak di banyak negara Asia, termasuk Indonesia. Mungkin banyak dari beberapa lapisan masyarakat yang tidak atau belum menyadari bahwa Indonesia pun tidak luput dari pengaruh budaya Korea ini.
Satu gambaran mudah untuk mengetahui apa yang disebut dengan Hallyu ini adalah bisa disamakannya istilah ini dengan begitu besarnya pengaruh “Bollywood” di beberapa negara Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Indonesia. Mungkin terkesan terlalu dini untuk menyebut bahwa Indonesia sudah ‘terhanyut’ dalam Hallyu. Namun, bila dilihat lebih dalam, Indonesia pun ternyata juga tidak jauh berbeda dengan negara-negara Asia lain seperti Cina, Singapura, Taiwan, Malaysia, Thailand, Vietnam dan bahkan Jepang dalam hal besarnya pengaruh Hallyu terhadap negera-negara itu.
Tidak banyak yang menyangka bahwa Korea akan berhasil ‘mengekspor’ produk budaya popnya sebegitu besar dan gencar seperti halnya yang terjadi dengan budaya pop Jepang yang telah terlebih dahulu menyerbu Asia pada era 90-an.

1.2. Tujuan Penelitian
Berdasarkan situasi di atas, penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai fenomena Hallyu yang telah lebih dulu mempengaruhi negara-negara Asia dan yang kemudian merembet ke Indonesia. Selanjutnya, penelitian ini mengkaji lebih dalam tentang dampak-dampak yang ditimbulkan oleh fenomena Hallyu secara lebih spesifik di Indonesia dengan berfokus pada sinetron dan film Korea yang diputar di televisi, yang diedarkan dan yang dijual di Indonesia.
Berdasarkan tujuan di atas, isi hasil penelitian ini menggambarkan situasi budaya pop Korea di negerinya sendiri sebelum seperti sekarang ini. Kemudian dilanjutkan dengan situasi Hallyu di Asia sebagai gambaran yang melatarbelakangi keberhasilan Korea dalam mengekspor produk budayanya seperti saat ini, diikuti dengan penjelasan tentang situasi Hallyu di Indonesia dilihat dari dampak-dampak yang muncul dari dua sinetron Korea yang terkenal yaitu Winter Sonata dan Endless Love sebagai inti penelitian.

1.3. Landasan Teori
Untuk melihat lebih dalam suatu fenomena baru seperti Hallyu ini, salah satu cara awal yang bisa dilakukan adalah dengan mengamati langsung dan kemudian membuktikan ada tidaknya produk-produk budaya Korea yang dimaksud. Setelah mengamati langsung, hal selanjutnya yang perlu diketahui adalah seberapa besar produk-produk tersebut diserap oleh masyarakat; apakah sebagian kecil masyarakat saja yang menikmati ataukah sebagian besar masyarakat. Untuk memahami fenomena ini semua, salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan mengkaji lebih lanjut produk-produk budaya itu sendiri dan mencari fakta yang mendukung eksistensi sekaligus terserapnya produk budaya tersebut.
Bernard, H. Russell dalam bukunya Hand-book of Method in Cultural Anthropology (1998) mengatakan bahwa text analysis sebagai salah satu metode penelitian ilmu sosial telah banyak digunakan oleh para peneliti untuk mencari dan memahami pola-pola yang ada dalam teks tertulis. Dalam perkembangannya, metode text analysis ini tidak hanya menggunakan teks tertulis seperti pidato, lirik lagu, transkrip wawancara, dan berita koran saja sebagai objek penelitiannya, namun juga bisa menggunakan foto, film, kaset video, film-film komersial, dan acara-acara televisi sebagai bahan penelitiannya. Untuk itulah, penelitian ini mengacu pada teori ini dengan cara melihat perkembangan sinetron dan film-film Korea sebagai produk budaya yang dikaji.
Memang benar bahwa kehadiran suatu produk budaya pop atau pop culture semata tidak bisa dijadikan suatu patokan bahwa semua orang menerima dan menyukai produk tersebut. Namun, penelitian ini mencoba mencari hubungan antara eksistensi jenis produk budaya Korea tersebut dengan adanya interest yang mulai meluas di sebagian kalangan masyarakat Indonesia terhadap produk-produk tersebut. Dengan kata lain, produk-produk Korea tersebut lambat laun mulai menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri. Dengan menggunakan teori ini pula, maka berita-berita, artikel-artikel maupun informasi apa pun yang berkaitan dengan fenomena merebaknya budaya Korea di Indonesia bisa digunakan sebagai data pendukung adanya fenomena Hallyu .

1.4. Metode Penelitian
Untuk lebih berfokus pada Hallyu yang tengah terjadi di Indonesia, penelitian ini menitikberatkan pada penjabaran tentang bagaimana fenomena Hallyu dilihat dari maraknya pemutaran film terutama drama atau sinetron Korea di televisi-televisi Indonesia. Selama penelitian berlangsung, peneliti telah menyederhanakan materi penelitian. Dalam rencana awal, penelitian ini menggunakan sinetron dan film Korea sebagai materi penelitian utama untuk melihat fenomena Hallyu di Indonesia, Namun luasnya cakupan materi akhirnya mengharuskan peneliti untuk melihat lebih dekat Hallyu yang terjadi di Indonesia dengan berfokus hanya pada dampak-dampak yang muncul dari dua sinetron Korea yang terkenal di Indonesia, yaitu Endless Love dan Winter Sonata saja. Sedangkan fenomena Hallyu melalui film Korea hanya dipaparkan sebagai pendukung gambaran luasnya dampak Hallyu di Indonesia. Materi penelitian berupa sinetron-sinetron produksi Korea tersebut adalah sinetron yang ditayangkan televisi Indonesia dan film-film Korea yang dijual bebas di Indonesia dalam bentuk vcd maupun dvd.
Data ini diperoleh dengan riset data melalui media massa (Koran, majalah, artikel) baik yang tercetak maupun yang ada di internet. Sedangkan, film-film Korea yang digunakan sebagai data pendukung diperoleh dengan riset data melalui media massa dan internet. Selain itu juga dilakukan penelitian lapangan ke berbagai toko kaset dan vcd, rental-rental film di Yogyakarta untuk mengetahui eksistensinya.
Cakupan tempat penelitian di wilayah Yogyakarta tetap bisa dikatakan mewakili Indonesia dengan asumsi bahwa toko-toko kaset dan rental vcd yang akan didatangi sebagai sumber data adalah toko-toko yang mempunyai jaringan kuat di Indonesia seperti Bulletin, Disc Tarra, dan M-Store. Data-data yang diperoleh akan dikaji sebagai bahan bukti adanya fenomena Hallyu di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Mengingat fokus penelitian ini adalah dua sinetron Winter Sonata dan Endless Love, maka data yang digunakan dititikberatkan pada pada semua artikel baik tercetak maupun online yang berhubungan dengan keduanya. Data tersebut kemudian diteliti untuk dipilah-pilah berdasarkan kategorinya apakah sekedar berita atau menggambarkan juga dampak yang ditimbulkannya.
Peneliti tidak melakukan penelitian langsung terhadap dengan cara mengambil sampel masyarakat di Yogya, namun penelitian ini mengambil data dari hasil polling tentang drama Korea yang telah dilakukan oleh media seperti Indosiar. Selain itu, data yang digunakan dalam penelitian ini banyak berdasar dari artikel-artikel surat kabar online. Fasilitas ini memungkinkan peneliti untuk melihat berita-berita terdahulu (2002- sekarang) yang memuat apa pun yang berkaitan dengan topik penelitian dengan mudah.
Penelitian ini juga menampilkan hasil-hasil forum diskusi yang terdapat di internet (bukan hasil dari survei penelitian). Penggunaan hasil survei dan forum diskusi yang terdapat dalam internet semata-mata ditujukan untuk memudahkan penelitian seperti yang sudah direncanakan dalam metode penelitian. Untuk itu perlu digarisbawahi bahwa hasil survei dan forum-forum diskusi ini hanya mewakili mereka yang memiliki akses ke dalam internet yaitu sebagian masyarakat Indonesia yang mampu (better-off). Namun demikian, jumlah responden yang mencapai ribuan bisa dijadikan patokan yang paling tidak menggambarkan situasi apa adanya di Indonesia, dalam hal ini mengenai pendapat-pendapat masyarakat pengguna internet tentang produk budaya pop Korea: sinetron Korea.
Untuk memberikan gambaran seperti apa Hallyu ini pada awalnya, pada laporan penelitian ini akan dipaparkan dahulu situasi budaya pop Korea di negerinya sendiri sebelum seperti sekarang ini. Kemudian dilanjutkan dengan situasi Hallyu di Asia sebagai gambaran yang melatarbelakangi keberhasilan Korea dalam mengekspor produk budayanya seperti saat ini, diikuti dengan penjelasan tentang situasi Hallyu di Indonesia sebagai inti dari hasil penelitian ini.
















BAB 2
Hallyu di Negara-Negara Asia

2.1. Situasi Budaya Pop Korea di Negerinya Sendiri
Selama hampir 50 tahun sejak Korea lepas dari pendudukan Jepang, pemerintah Korea menerapkan larangan masuknya budaya Jepang. Impor musik dan film Jepang atau apa pun yang berbau budaya Jepang telah lama mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan masih adanya rasa sentimen atas 35 tahun penjajahan Jepang di Korea di awal abad ke-20. Namun, pada tahun 1998 pemerintah Korea Selatan mencabut larangan itu dan mulailah dengan apa yang disebut dengan maraknya pengaruh Jepang di Korea. Perlu juga diketahui bahwa walaupun selama masa itu larangan masuknya budaya Jepang ke Korea diberlakukan, tidak sedikit masyarakat Korea yang tetap bisa menerima dan menikmati berbagai produk budaya Jepang.
Melihat kenyataan ini, Korea bisa dianggap ‘tertinggal’ dalam hal terkena pengaruh Jepang pada tahun 90-an, karena negara-negara Asia lain termasuk Indonesia telah lama terkena budaya pop atau modern Jepang, baik lewat film, musik, maupun kartun.
Sejak dicabutnya larangan itulah, situasi budaya pop Korea dalam hal ini musik, film, fashion, dan lain sebagainya mulai lagi terpengaruh oleh Jepang. Kaum muda Korea menggandrungi apa pun yang berbau Jepang. Penjualan lagu-lagu Jepang bahkan mengalahkan penjualan kaset dari penyanyi dalam negerinya. Film-film Jepang juga mulai mendapat hati di kalangan masyarakat Korea. Game-game dari Jepang pun juga mulai mendapatkan tempat di hati para remaja Korea. Hal yang menarik adalah apa yang mulai disukai oleh para remaja Korea itu adalah sesuatu yang masih banyak dibenci oleh kaum tua yang masih teringat pahitnya larangan menggunakan bahasa Korea dan hal-hal yang berbau Korea saat pendudukan Jepang dulu.
Namun, terlepas dari itu semua, mulai masuknya budaya Jepang dengan kebebasannya sedikit banyak juga telah mewarnai perubahan budaya pop Korea dalam hal ini musik dan film.

2.2. Dulu Jepang Sekarang Korea
Hanya dalam waktu sekitar 2 tahun, keadaan telah berubah drastis. Bila pada awal milenium budaya Jepang masih kental terasa di Korea, sekarang keadaan justru terbalik. Korea telah berhasil menciptakan suatu budaya sendiri yang sanggup menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan bahkan telah berhasil membuat negara-negara tetangganya terpengaruh oleh budaya pop Korea ini, tak terkecuali Jepang.
Banyak pendapat pro dan kontra tentang apa yang sebenarnya menjadikan budaya pop Korea menjadi seperti ini. Apabila melihat sejarah, Jepang mulai mengekspor ‘imperialisme budaya’-nya seiring dengan kuatnya daya saing produk-produk industrinya yang merambah Asia pada saat itu. Sepertinya tidak ada negara mana pun yang ‘aman’ dari pengaruh budaya pop Jepang saat itu.
Situasi yang hampir mirip kini telah terjadi dengan Korea. Seiring dengan stagnannya ekonomi Jepang, Korea semenjak keluar dari krisis moneter di akhir 90-an lalu telah bisa dikatakan berhasil kembali ke jalur ekonomi yang ‘mulus’. Didukung dengan mulai gencarnya produk-produk Korea di dunia termasuk Asia, Korea secara disadari atau tidak juga telah mulai ‘mengekspor’ budaya modernnya ke kehidupan masyarakat Asia yang terlebih dahulu telah mengenal produk-produk industri Korea.
Beberapa tahun terakhir ini masyarakat Indonesia telah mengenal merek-merek Korea seperti Samsung dan LG untuk produk elektronik; berbagai macam merek mobil Korea sampai magic-jar bermerek Yongma yang bahkan tidak semua orang Korea menyadari bahwa itu adalah merek Korea.
Di berbagai tempat penyewaan VCD dan DVD yang marak di berbagai pelosok negeri ini terlihat bahwa film-film Hollywood yang hampir menguasai rak-rak film di tempat-tempat seperti itu. Namun, sejak tahun 2002 yang lalu, selain bisa kita lihat film-film Mandarin dan India, ternyata film-film Korea juga telah mulai termasuk dalam jajaran film-film yang disewakan—terlepas asli atau bajakan.
Hal di atas menandakan bahwa film-film Korea pun telah masuk ke dalam lingkaran film-film yang mulai diminati. Berhubungan dengan Hallyu, fenomena ini dimulai dari negeri Cina daratan yang sejak tahun 2000 lalu mulai ‘tergila-gila’ dengan apa pun yang berbau Korea. Dipicu dengan diputarnya sinetron dan lagu-lagu grup musik Korea di Cina, mulailah suatu perubahan yang dimotori oleh para remaja yang mulai meniru apa yang mereka lihat, dari pakaian sampai gaya rambut para penyanyi dan model Korea (Kim Youn Jun, 2002)
Fenomena-fenomena ini ternyata tidak hanya terjadi di Cina saja namun juga mulai merambah Taiwan, Thailand, Singapura, dan Vietnam. Khusus negara yang disebut terakhir ini, pengaruh Hallyu sangatlah kuat hingga beberapa kali diadakan jumpa fans dengan artis sinetron Korea tersebut dalam rangka untuk menjembatani kerjasama antar dua negara tersebut.
Jepang sebagai negara yang beberapa waktu memberi pengaruh pada Korea kini juga tidak luput dari pengaruh Hallyu. Di Jepang ada sebuah kecenderungan yang sangat menarik, yaitu mulai banyaknya remaja yang menggandrungi lagu-lagu dan film-film Korea. Khusus untuk film, Jepang pun juga tak luput dari pasaran film-film box office Korea. Di Indonesia, selain bisa dilihat dari maraknya pemutaran film dan sinetron Korea di televisi, Hallyu bisa juga ditemui di toko-toko kaset. Dalam hal ini film-film Korea sudah mendapat lisensi penjualan melalui distributor resminya. Ini menandakan bahwa film Korea pun sudah mulai sejajar dengan film-film original dari Hollywood yang dipasarkan di Indonesia.
Hal tersebut merupakan suatu capaian sukses yang diraih oleh industri perfilman Korea. Dilihat dari sisi lain, film Korea memiliki pangsa pasar juga di Indonesia. Dengan kata lain, disadari atau tidak, sebagian masyarakat Indonesia sudah terpengaruh dengan Hallyu.
Akhir-akhir ini pun, di tengah-tengah banjirnya film kartun buatan Jepang yang menguasai televisi, sudah bisa kita lihat beberapa film kartun buatan Korea. Hal ini juga menandakan bahwa alur distribusi produk budaya Korea pun sudah mulai dilirik oleh TV Indonesia.
Kembali ke negara-negara Asia, khususnya di negara-negara Asia Timur seperti Cina dan Taiwan yang paling besar terkena pengaruh Hallyu, sekarang muncul istilah "kim-chic" atau “kim-keren”. Hal ini kemungkinan besar karena marga paling banyak di Korea adalah Kim, sehingga sesuatu yang berasal dari Korea bisa diwakili oleh ‘kim’ (Koreana No. 161. Seoul. hal. 46 –5). Segala sesuatu yang berbau Korea dari makanan, musik, model sepatu, rambut, sampai bentuk alis mulai menjadi semacam trend di negara-negara yang dulunya banyak didominasi oleh trend Jepang (Tokyo).
Bisa dikatakan bahwa budaya pop Korea memang mempunyai keunikan karena berhasil merebut pangsa pasar di Asia. Dilihat dari beberapa sinetron yang ditayangkan di beberapa negara Asia, sinetron tersebut berhasil merebut hati pemirsa televisi. Hal ini karena Korea berhasil meramu nilai Timur dan Barat dalam penyajian ceritanya. Hal inilah yang memungkinkan produk budaya pop Korea dengan cepat bisa diterima masyarakat Asia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar